Selasa, 03 Desember 2013

101.59 Makan Dari Hasil Usaha Sendiri



RIYADUSH SHALIHIN
DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH  








Makan  Dari  Hasil  Usaha    Sendiri
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

Hidup manusia di dunia ini nampaknya sibuk dengan kegiatan yang tidak kunjung selesai, sejak dari bangun pagi hingga tidur  lagi, ada pekerjaan yang diprogram jangka pendek sehingga dalam waktu singkat pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan baik, ada program  jangka menengah  yang membutuhkan waktu tidak terlalu cepat tapi tidak terlalu lama dan program kerja jangka panjang yang berlansung sekian generasi.
            Selain setiap individu yang mengerahkan tenaga, fikiran dan perasaannya untuk menyelesaikan pekerjaan, keluarga juga punya target-target tertentu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, apalagi sebuah bangsa dan Negara tentu tidak luput dari program kerja yang harus diselesaikan, nampaknya manusia tidak lepas dirinya dari bekerja dan bekerja, apapun pekerjaan akan dilakukan oleh manusia sesuai dengan kapasitasnya, bekerja selain merupakan tuntutan hidup dia juga merupakan tuntutan untuk memenuhi kehidupan di dunia ini, tanpa bekerja tentu sulit untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan.
Apapun profesi seseorang tidak jadi masalah karena sesuai dengan kapasitasnya dia akan memperoleh imbalan dari kerjanya, yang dilakukan secara baik, rapi dan profesional serta bertanggungjawab, bahkan kerjanya itu dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk keluarga disamakan dengan seorang muajhid "Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla. (HR. Ahmad)
 
Siapapun yang telah melangkahkan kakinya,  mengayunkan tangannya, mencurahkan tenaganya, memeras keringatnya karena mengerjakan suatu pekerjaan yang berat sekalipun untuk kebutuhan pribadi dan keluarganya maka tidaklah sia-sia, selain memperoleh pahala dari Allah dia juga akan diampuni, tentu semuanya dilandasi dengan keimanan yang mantap dan  amal yang disertai keikhlasan, "Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah" (HR. Ahmad)
 
Semua manusia punya salah dan dosa, yang harus diupayakan agar dosa dan kesalahan itu dapat hapus karena akan mengganggu perjalanan kehidupan seseorang hingga akherat kelak, ada dosa yang dapat hapus dari satu shalat ke shalat lainnya, ada dosa yang bisa diampuni dari satu jum'at ke jumat lainnya dan dari satu Ramadhan ke Ramadhan berikutnya dari satu umrah ke umrah selanjutnya, kesusahan mencari nafkah dapat juga menghapuskan dosa seseorang sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah "Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus (ditebus) dengan pahala shalat, sedekah atau haji namun hanya dapat ditebus dengan kesusah-payahan dalam mencari nafkah'' (HR. Ath-Thabrani)

 
Hikmah dari kemampuan mencari nafkah [qadirun alal kasbi] yaitu dapat memenuhi kebutuhan pribadi sehingga terjauh dari mengharapkan pemberian dari orang lain, hidupnya mandiri bahkan mampu untuk membantu orang yang membutuhkan, digambarkan dalam hadits Rasulullah, seorang lelaki yang sibuk setiap waktu untuk beribadah di masjid, sementara semua kebutuhannya dibiayai oleh adiknya, maka Rasuk menyatakan, adikmu lebih baik darimu, "Seorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya maka itu lebih baik dari seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak. (Mutafaq'alaih).

Rasulullah bersabda, "Allah memberi rezeki kepada hambaNya sesuai dengan kegiatan dan kemauan kerasnya serta ambisinya"HR. Aththusi)
 
Rasulullah bersabda "Mata pencaharian paling afdhol adalah berjualan dengan penuh kebajikan dan dari hasil keterampilan tangan" (HR. Al-Bazzar dan Ahmad)
 
Rasulullah bersabda,"Sebaik-baik mata pencaharian ialah hasil keterampilan tangan seorang buruh apabila dia jujur (ikhlas). (HR. Ahmad)

Hasil usaha  sendiri kemudian dinikmati  mendatangkan kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri walaupun tidak banyak, daripada banyak tapi hasil pencaharian orang lain, yaitu hasil dari pemberian, apalagi hasil dari meminta-minta, Rasulullah menyatakan,"Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangan sendiri'' (HR.Bukhari), salah satu hikmah kenapa Nabi Muhammad mampu menolak tawaran dari  pamannya Abu Thalib berkaitan dengan datangnya kafir Quraisy yang menawarkan agar tidak lagi menyebarkan da'wah islam maka beliau akan diberi tiga hal yaitu harta yang banyak sehingga jadi orang kaya di Mekkah, diangkap sebagai pemimpin dan dicarikan wanita cantik sebagai isterinya, tapi hal itu dia tolak dengan ucapan “Wahai paman, seandainya mereka meletakkan bulan di pundakku sebelah kiri dan matahari sebelah kananku, agar aku meninggalkan da’wah ini, sungguh tidak akan berhenti sehingga aku mendapatkan kejayaan islam atau aku binasa karenanya”.
Kenapa Muhammad berani begitu kepada pamannya ? karena dia tinggal di rumah pamannya tidak gratis, dia ikut bekerja mencari nafkah, sejak kecil bekerja mengembalakan kambing dan setelah remaja hingga dewasa dia berdagang dengan Abu Thalib, artinya punya penghasilan dengan bekerja akan menimbulkan kemerdekaan dari pribadi seseorang, tidak mudah ditekan atau dijajah orang lain.
Bagi  orang yang dibukakan pintu rezeki melalui usaha apapun yang menguntungkan maka sebaiknya ditekuni dengan maksimal, "Apabila dibukakan bagi seseorang pintu rezeki maka hendaklah dia melestarikannya"(HR. Al-Baihaqi) Yakni senantiasa bersungguh-sungguh dan konsentrasi di bidang usaha tersebut, serta jangan suka berpindah-pindah ke pintu-pintu rezeki lain atau berpindah-pindah usaha karena di khawatirkan pintu rezeki yang sudah jelas dibukakan tersebut menjadi hilang dari genggaman karena kesibukkan nya mengurus usaha yang lain. Seandainya memang mampu maka hal tersebut tidak mengapa.
            Bekerja adalah upaya menjemput rezeki Allah SWT. Tujuannya agar kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Oleh karenanya, Rasulullah SAW mengajarkan prinsip-prinsip dalam menjemput rezeki. Yakni, yakin bahwa setiap manusia mendapat bagian rezeki; selalu memperbaiki cara-cara dalam menjemput rezeki; bersabar dengan rezeki yang belum kunjung datang; tidak menempuh cara-cara yang menyimpang dari sunatullah.
            Dalam proses mencari rezeki, seseorang akan menghadapi berbagai kendala dan rintangan. Rintangan terberat adalah ketika hati nurani tak lagi disertakan dalam bekerja, dan lebih memilih menuruti hawa nafsu. Ketika nafsu lepas kendali, rasa malu untuk melakukan keburukan tak ada lagi, segala macam cara dihalalkan, norma dan etika tak lagi penting, bahkan iman akan mudah dikorbankan. "Sesungguhnya sebagian ajaran yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi adalah 'jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu'." (HR Bukhari).
Bila kondisi semacam ini terus berlanjut, akan timbul perilaku-perilaku impulsif yang bisa menyeret pada kepribadian yang menyimpang (personality disorder). Tidak ada kecemasan ketika melakukan kejahatan dan seusai berbuat tak tebersit perasaan bersalah (guilty feeling), yang lebih ironis perbuatan jahatnya dianggap sesuatu yang wajar.
 Perilaku seperti itu merugikan banyak pihak dan diri sendiri. Tidak saja lahan pekerjaan dan kepercayaan orang lain kepadanya yang terancam lenyap, tapi kerugian yang amat besar telah menantinya yaitu bangkrutnya kekayaan hakiki (hati nurani). Dan, pada saat hati nurani telah mati, tak ada lagi ukuran untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, setiap tindakan cenderung melampaui batas, perbuatan baik dan ketaatan menjadi sesuatu yang remeh, tak sadar bahwa hidup di dunia dalam genggaman Zat Pencipta yang setiap saat siap untuk dicabut, dan lupa bahwa kehidupan dunia menjadi penentu nasib di kehidupan akhirat yang kekal. [Republika online, Muhammad Saifudin Kodiran, Bekerja dengan Hati, Minggu, 10 April 2011 11:03 WIB].

Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 59 dengan judulAnjuran   Untuk  Makan  Dari  Hasil  Usaha    Sendiri Dan Menahan Diri Dari Meminta Serta Menuntut Agar Diberi”

Allah Ta'ala berfirman: "Jikalau shalat telah diselesaikan, maka menyebarlah di bumi dan carilah rezeki dari keutamaan Allah," hingga habisnya ayat. (al-Jumu'ah: 10)

Dari Abu Abdillah yaitu az-Zubair bin al-Awwam r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Niscayalah jikalau seseorang dari engkau semua itu mengambil tali-talinya - untuk mengikat - lalu ia datang di gunung, kemudian ia datang kembali - di negerinya - dengan membawa sebongkokan kayu bakar di atas punggungnya, lalu menjualnya,kemudian dengan cara sedemikian itu Allah menahan wajahnya - yakni dicukupi kebutuhannya, maka hal yang semacam itu adalah lebih baik baginya daripada meminta-minta sesuatu pada orang-orang, baik mereka itu suka memberinya atau menolaknya." (Riwayat Bukhari)

Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda "Niscayalah jikalau seseorang dari engkau semua itu mencari sebongkokan kayu bakar dan diletakkan di atas punggungnya, itu adalah lebih baik daripada meminta-minta kepada seseorang, kemudian orang yang dimintai itu memberinya atau menolak permintaannya." (Muttafaq 'alaih)

Dari Abu Hurairah r.a. pula dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Adalah Nabi Dawud 'alaihis-salam itu tidak suka makan sesuatu, kecuali dari hasil usaha tangannya sendiri - yakni kerjanya." (Riwayat Bukhari)

 Dari Abu Hurairah r.a. pula, bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:"Nabi Zakariya 'alaihis-salam itu adalah seorang tukang kayu." (Riwayat Muslim)

 Dari al-Miqdad bin Ma'dikariba r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya:"Tidaklah seseorang itu makan sesuatu makanan, sekalipun sedikit, yang lebih baik daripada apa yang dimakannya dari hasil usaha tangannya dan sesungguhnya Nabiullah Dawud 'alaihis-salam itu juga makan dari hasil usaha tangannya." (Riwayat Bukhari).

Begitu yang dicontohkan oleh para nabi kepada kita, untuk menikmati hasil dari usaha  sendiri, tanpa meminta-minta dan tidak mengharapkan pemberian orang lain, hal itu menjaga kepribadian sekaligus bekerja itu merupakan ibadah yang mendatangkan pahala dari Allah Swt.

Mencari nafkah [ma'isyah] adalah aktivitas manusia dalam rangka memenuhi kehidupannya dengan bekerja, apapun jenis pekerjaan yang ditekuni selama baik dan halal adalah terpuji, apakah sebagai pedagang, petani, buruh, pegawai negeri, anggota dewan, polisi, tentara ataupun pengacara hingga menteri ataupun Presiden,  kegiatan ini banyak mengandung pahala didalamnya, dengan ma'isyah seseorang berupaya untuk mencari yang halal karena memang demikian anjurannya,"Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dll)''. (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi).

Dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah mencontohkan kepada ummatnya pentingnya mencari rezeki yang halal, sebab barang haram akan mempengaruhi mental dan kepribadian seseorang. Idealnya, biarlah kita kaya raya asal semua diperoleh dari yang halal, namun sangat rusak seseorang bila sedikit atau banyak hartanya bergelimang dengan haram, baik haram zatnya, cara memperolehnya atau membelanjakannya, Allah memperingatkan kita semuanya melalui nabinya;“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang  baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”[Al Baqarah 2;172]
Seorang ummahat  dizaman Rasulullah dahulu, bila suaminya berangkat kerja mencari nafkah, di depan pintu dia berpesan kepada suaminya,”Silahkan pergi mencari nafkah sebanyak-banyaknya namun yang halal, jangan kau bawa ke rumahku ini harta yang haram meskipun sedikit”.
Keluarga yang shaleh dan shalehah akan menjaga dirinya dari rezeki yang haram, karena rumah tangga yang baik adalah rumah tangga yang selalu mengumpulkan rezeki dari yang halal dan hasil yang halal itu mengujudkan kebahagiaan bagi yang memperolehnya, demikian pula halnya Allah menyukai hamba-Nya yang mencari rezeki halal walaupun dengan sudah payah, "Sesungguhnya Allah Ta'ala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yanghalal.(HR.Ad-Dailami)

Bagi  orang yang dibukakan pintu rezeki melalui usaha apapun yang menguntungkan maka sebaiknya ditekuni dengan maksimal, "Apabila dibukakan bagi seseorang pintu rezeki maka hendaklah dia melestarikannya"(HR. Al-Baihaqi) Yakni senantiasa bersungguh-sungguh dan konsentrasi di bidang usaha tersebut, serta jangan suka berpindah-pindah ke pintu-pintu rezeki lain atau berpindah-pindah usaha karena di khawatirkan pintu rezeki yang sudah jelas dibukakan tersebut menjadi hilang dari genggaman karena kesibukkan nya mengurus usaha yang lain. Seandainya memang mampu maka hal tersebut tidak mengapa.

Walaupun pahala melaksanakan shalat fajar lebih baik dari dunia dan isinya, ditambah lagi dengan melaksanakan shalat subuh maka untuk mencari nafkah mengais rezeki Allah dalam berpagi-pagi sangat dianjurkan, selesai shalat subuh bersiap-siaplah untuk bertebaran di muka bumi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah dalam beberapa hadits; "Seusai shalat fajar (subuh) janganlah kamu tidur sehingga melalaikan kamu untuk mencari rezeki"(HR. Ath-Thabrani)

 
           "Bangunlah pagi hari untuk mencari rezeki dan kebutuhan-kebutuhanmu. Sesungguhnya pada pagi hari terdapat barakah dan keberuntungan''           HR. Ath-Thabrani dan Al-Bazzar)

 
           "Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu pagi hari mereka (bangun fajar). (HR. Ahmad).

            Walaupun seseorang mempunya harta yang banyak, tidak akan habis dimakan tujuh generasi, fasilitas hidup sudah tersedia lengkap, anak-anaknyapun sudah berhasil dengan penghasilan yang tidak sedikit, setiap bulan mendapat kiriman dari sang anak walaupun tidak diminta, selain itu sebagai manusia berapalah yang dapat dimakan setiap hari, tapi tidaklah enak kalau hidup hanya berdiam saja padahal fisik sehat dan masih kuat, tidak punya aktivitas sama artinya dengan mati, orang yang bekerja memang lelah tapi lebih lelah lagi orang yang menganggur, lebih jauh lagi Rasulullah menyatakan tentang orang yang tidak bekerja, " Pengangguran menyebabkan hati keras (keji dan membeku). (HR. Asysyihaab).

Alangkah indahnya kehidupan seorang muslim, walaupun dia bekerja memenuhi kehidupan pribadi dan keluarganya, mencukup keperluannya yang kesemuanya itu mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan bagi keluarga tersebut, tapi Allah memberikan pahala atas semua usaha, tetesan keringat, ayunan cangkul, panas teriknya matahari, lelah yang selalu menemani setiap malam, semuanya dinilai dengan pahala yang tidak terhingga, Wallahu A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 09 Zulqaidah 1434.H/14 September 2013].

                  

100.58 Boleh Mengambil Tanpa Meminta



RIYADUSH SHALIHIN
DITAMAN ORANG-ORANG SHALIH 







Boleh Mengambil Tanpa Meminta
Oleh Drs. St. Mukhlis Denros

Rezeki manusia sudah ditentukan Allah sejak zaman azali, namun demikian dia hanya diwajibkan untuk berusaha mencarinya dengan penuh ketekunan dan kesabaran, walaupun turunnya rezeki itu lambat kepadanya maka tidak merubah ketaatan kepada Allah dengan melakukan transaksi maksiat," Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril) membisikkan dalam benakku bahwa jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itu hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan memperbaiki mata pencaharianmu. Apabila datangnya rezeki itu terlambat, janganlah kamu memburunya dengan jalan bermaksiat kepada Allah karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya. (HR.AbuZardanAlHakim).
 
Apapun profesi seseorang tidak jadi masalah karena sesuai dengan kapasitasnya dia akan memperoleh imbalan dari kerjanya, yang dilakukan secara baik, rapi dan profesional serta bertanggungjawab, bahkan kerjanya itu dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk keluarga disamakan dengan seorang muajhid "Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla. (HR. Ahmad)

            Siapapun yang telah melangkahkan kakinya,  mengayunkan tangannya, mencurahkan tenaganya, memeras keringatnya karena mengerjakan suatu pekerjaan yang berat sekalipun untuk kebutuhan pribadi dan keluarganya maka tidaklah sia-sia, selain memperoleh pahala dari Allah dia juga akan diampuni, tentu semuanya dilandasi dengan keimanan yang mantap dan  amal yang disertai keikhlasan, "Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah" (HR. Ahmad)
 
Semua manusia punya salah dan dosa, yang harus diupayakan agar dosa dan kesalahan itu dapat hapus karena akan mengganggu perjalanan kehidupan seseorang hingga akherat kelak, ada dosa yang dapat hapus dari satu shalat ke shalat lainnya, ada dosa yang bisa diampuni dari satu jum'at ke jumat lainnya dan dari satu Ramadhan ke Ramadhan berikutnya dari satu umrah ke umrah selanjutnya, kesusahan mencari nafkah dapat juga menghapuskan dosa seseorang sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah "Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus (ditebus) dengan pahala shalat, sedekah atau haji namun hanya dapat ditebus dengan kesusah-payahan dalam mencari nafkah'' (HR. Ath-Thabrani)

            Hikmah dari kemampuan mencari nafkah [qadirun alal kasbi] yaitu dapat memenuhi kebutuhan pribadi sehingga terjauh dari mengharapkan pemberian dari orang lain, hidupnya mandiri bahkan mampu untuk membantu orang yang membutuhkan, digambarkan dalam hadits Rasulullah, seorang lelaki yang sibuk setiap waktu untuk beribadah di masjid, sementara semua kebutuhannya dibiayai oleh adiknya, maka Rasuk menyatakan, adikmu lebih baik darimu, "Seorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya maka itu lebih baik dari seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak. (Mutafaq'alaih).

Rasulullah bersabda, "Allah memberi rezeki kepada hambaNya sesuai dengan kegiatan dan kemauan kerasnya serta ambisinya"HR. Aththusi)

            Rasulullah bersabda "Mata pencaharian paling afdhol adalah berjualan dengan penuh kebajikan dan dari hasil keterampilan tangan" (HR. Al-Bazzar dan Ahmad)
 
Rasulullah bersabda,"Sebaik-baik mata pencaharian ialah hasil keterampilan tangan seorang buruh apabila dia jujur (ikhlas). (HR. Ahmad)

          Hasil usaha  sendiri kemudian dinikmati  mendatangkan kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri walaupun tidak banyak, daripada banyak tapi hasil pencaharian orang lain, yaitu hasil dari pemberian, apalagi hasil dari meminta-minta, Rasulullah menyatakan,"Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangan sendiri'' (HR.Bukhari), salah satu hikmah kenapa Nabi Muhammad mampu menolak tawaran dari  pamannya Abu Thalib berkaitan dengan datangnya kafir Quraisy yang menawarkan agar tidak lagi menyebarkan da'wah islam maka beliau akan diberi tiga hal yaitu harta yang banyak sehingga jadi orang kaya di Mekkah, diangkap sebagai pemimpin dan dicarikan wanita cantik sebagai isterinya, tapi hal itu dia tolak dengan ucapan
“Wahai paman, seandainya mereka meletakkan bulan di pundakku sebelah kiri dan matahari sebelah kananku, agar aku meninggalkan da’wah ini, sungguh tidak akan berhenti sehingga aku mendapatkan kejayaan islam atau aku binasa karenanya”.

Kenapa Muhammad berani begitu kepada pamannya ? karena dia tinggal di rumah pamannya tidak gratis, dia ikut bekerja mencari nafkah, sejak kecil bekerja mengembalakan kambing dan setelah remaja hingga dewasa dia berdagang dengan Abu Thalib, artinya punya penghasilan dengan bekerja akan menimbulkan kemerdekaan dari pribadi seseorang, tidak mudah ditekan atau dijajah orang lain.
Islam mencela pengangguran dan peminta-minta. Agama Islam yang bersifat universal tidak saja berbicara masalah ritual dan spiritual tapi juga menyoroti segala permasalahan sosial yang selalu dihadapi ummat manusia. Salah satunya adalah masalah pengangguran dan peminta-minta yang sangat dicela oleh Islam, sebab hal ini merugikan masyarakat.
Pertama, pengangguran dan peminta-minta menyebabkan tenaga manusia bersifat konsumtif, tidak produktif akibatnya mereka menjadi beban masyarakat.
Kedua, pengangguran dan peminta-minta adalah sumber kemiskinan, sedangkan kemiskinan merupakan bumi yang subur bagi tumbuh dan berjangkitnya berbagai macam kejahatan.
Karena itulah Islam sangat menentang pengangguran dan mencela orang-orang yang tidak mau bekerja padahal sebenarnya mereka mampu bekerja.
Islam mengajarkan kita untuk selalu bersedekah dan memberikan pertolongan kepada orang yang memerlukan tetapi Islam tidak mengajarkan pengikutnya menjadi peminta-minta atau pengemis, bahkan Rasulullah sendiri pernah menjelaskan bahwa orang yang membawa tambang pergi kegunung mencari kayu lalu dijual untuk makan dan bersedekah lebih baik dari pada meminta-minta kepada orang, sebagaimana sabdanya yang berbunyi:
“Demi jiwaku yang berada di tanganNya sungguh seseorang yang mengambil tali di antara kalian kemudian dia gunakan untuk mengangkat kayu di atas punggungnya lebih baik baginya daripada ia mendatangi orang kemudian ia meminta-minta kepadanya yang terkadang ia diberi dan terkadang ia tidak diberi olehnya”. (HR. Al-Bukhari)
Dan beliau juga memberikan uswah kepada kita agar jangan meminta pertolongan selama kita masih mampu untuk mengerjakannya.
Bukan berarti kita ingin menghindari kewajiban kita sebagai muslim dan sebagai makhluk sosial, yang walau bagaimanapun diantara mereka yang meminta-minta tersebut memang pantas mendapatkan sedekah, tetapi kita hanya berhati-hati agar jangan sampai terjerumus dan terjebak pada orang-orang yang hanya menggunakan pekerjaan mengemis sebagai topeng dan menampak luaskan kemiskinan dan terlebih lagi yang kita takutkan adanya anggapan bahwa Islam adalah agama bagi orang miskin dan terbelakang. [M. Rusydi, Mengemis Bukan Tradisi Islam,
www.alsofwah.or.id/khutbah].
Imam An Nawawi dalam bukunya Riyadush Shalihin Bab 58 dengan judul “Boleh Mengambil Tanpa Meminta Atau Mengintai Mengharap-harapkan”.

Dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya, yaitu Abdullah bin Umar dari Umar radhiallahu 'anhum, katanya: "Rasulullah s.a.w. memberikan sesuatu pemberian kepada saya, lalu saya berkata: "Berikanlah itu kepada orang yang lebih membutuhkan padanya daripada saya sendiri." Kemudian beliau s.a.w. bersabda: "Ambil sajalah pemberian ini, jikalau ada sesuatu yang datang dari harta ini, sedangkan engkau tidak mengharap-harapkan dan tidak pula memintanya - padahal engkau diberi dengan keikhlasan hati, maka ambillah itu. Jadikanlah itu sebagai hartamu - yang sah. Jikalau engkau suka, makanlah ia dan jikalau engkau suka maka bersedekahlah dengannya. Tetapi jikalau tidak demikian -artinya datangnya harta itu dengan sebab diharap-harapkan untuk diberi atau karena diminta, maka janganlah engkau memperturutkan hawa nafsumu - yakni melakukan itu dan kalau diberi jangan pula menerimanya."'
Salim berkata: "Maka Abdullah tidak pernah meminta sesuatu apapun dari orang lain dan tidak pernah pula menolak sesuatu pemberian, jikalau ia diberi. (Muttafaq 'alaih).
Yang tidak boleh adalah meminta-minta atau mengharap-harapkan pemberian dari  orang lain, tapi kalau mendapat sesuatu pemberian dari orang lain tanpa memintanya maka hal itu dibolehkan.
Pada suatu hari, sahabat Abu Sa`id al-Khudzri tidak memiliki apa pun untuk sarapan pagi. Istrinya meminta al-Khudzri agar datang kepada Rasulullah SAW. Sudah umum diketahui, siapa pun datang dan meminta sesuatu kepada Rasul, beliau pasti memberikannya. Namun, al-Khudzri menolaknya,  sampai suatu ketika ia begitu terpaksa, lalu datang ke rumah Nabi. Sesampainya di kediaman Nabi, beliau sedang memberi wejangan (khutbah). "Siapa merasa cukup, Allah mencukupkannya. Siapa memelihara diri (dari minta-minta), Allah pun memeliharanya." Mendengar nasihat Nabi itu, al-Khudzri mengurungkan niatnya dan kembali pulang ke rumahnya. (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Beberapa pelajaran berharga bisa dipetik dari kisah ini. Pertama, al-Khudzri, seperti para sahabat umumnya, memiliki tingkat kepatuhan yang sangat tinggi terhadap seruan Nabi. Mereka tak pernah menawar, tetapi  selalu taat dan patuh (sami`na wa atha`na). "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan, apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (QS al-Hasyr [59]: 7).
Kedua, al-Khudzri berusaha menjaga dan memelihara diri dari sikap minta-minta, lantaran hal demikian termasuk perbuatan yang tercela. Seperti diceritakan dalam Alquran, meski mendapat kesulitan, para sahabat pantang meminta-minta (mengemis). (QS al-Baqarah [2]: 273).
Ketiga, jalan untuk mendapatkan rezeki adalah bekerja dan berusaha, bukan minta-minta. Sejak mendengar nasihat Nabi SAW, al-Khudzri tak pernah lagi berpikir minta-minta, tetapi bekerja dan berusaha. Seperti diakui al-Khudzri dalam kisah ini, bahwa dengan usaha dan kerja keras, ia dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya, bahkan ia tergolong orang yang paling kaya di kalangaan sahabat Anshar.
Kerja menjadi penting karena ia merupakan indikator keberadaan manusia. Tanpa kerja, manusia sama dengan tidak ada (wujuduhu ka `adamihi). Kerja juga penting, karena ia menjadi satu-satunya jalan agar manusia bisa mengaktualisasikan bakat-bakat dan kemampuan yang dimilikinya. [Dr A Ilyas Ismail, Bekerja, Jangan Meminta, Republika.co.id. Minggu, 08 Januari 2012 04:30 WIB].
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.”
Jelas sudah bahwa pada dasarnya hukum meminta-minta tanpa landasan udzur yang telah dijelaskan di atas, merupakan perbuatan yang dilarang. Meskipun demikian, jangan sampai, karena alasan kita masuk dalam salah satu dari ketiga kategori tersebut, dengan seenaknya kita jadikan sebagai hujjah untuk melegalkan meminta-minta sebagai profesi hidup. Ingat, bagaimanapun alasannya, hakekat meminta-minta adalah perilaku yang akan mencederai kehormatan diri. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu.” (HR. Tirmidzi)
Selanjutnya, terhadap mereka yang menjadikan meminta-minta sebagai wasilah untuk memperkaya diri, bukan karena kebutuhan yang mendesak, maka Allah telah mengingatkan dengan peringatan yang tegas, melalui perantara lisan Rasulnya, “Siapa saja di antara kalian senantiasa meminta-minta, nanti ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” (H.R. Bukhari, Muslim)
Dalam sabdanya yang lain yang diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api; sehingga terserah padanya apakah cukup dengan sedikit saja atau akan memperbanyaknya.” (HR. Muslim).[Robin Sah, Enyahkan Minta-Minta, Agar Tak Terhina, hidayatullah.com Sabtu, 12 Juni 2010].
Betapa banyak ummat Islam yang hidupnya susah, perlu mendapat bantuan untuk keperluan hidupnya, apakah untuk kebutuhan hidup sehari-hari, untuk pengobatan dan pendidikan, tapi dia  tidak mau meminta-minta karena dia masih punya tenaga untuk berusaha walaupun penghasilan tidak mencukupi, walaupun demikian dia tidak menolak kalau diberi bantuan, dengan ucapan terima kasih dan syukur kepada Allah. Inilah pribadi yang disebut dengan “iffah” yaitu orang yang berpantang untuk meminta-minta walaupun dia sangat membutuhkan, tapi dia akan menerima pemberian itu dengan rasa syukur, Wallahu A’lam, [Cubadak Pianggu Solok, 09 Zulqaidah 1434.H/14 September 2013].